Pahlawan,
ya begitu mendengar kata pahlawan, mungkin sebagian dari kita berpikir tentang
perang, Bung Tomo, Peretempuran Surabaya dan lain sebagainya. Memang awal mula lahirnya hari pahlawan
tanggal 10 November karena peristiwa Pertempuran Surabaya. Dalam pertempuran 10 November 1945 itu,
6.000-16.000 pejuang Indonesia tewas akibat serangan yang diluncurkan oleh pihak
Inggris. Akibat banyaknya pejuang Indonesia yang gugur dalam peristiwa itu,
maka 10 November dikenang sebagai Hari
Pahlawan oleh bangsa Indonesia.
“Negara
yang besar adalah yang tidak melupakan Jas Merah”, begitu kata Bung
Karno. Hal ini senada dengan ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa pahlawan. Beragam cara dilakukan
untuk memperingati jasa para pahlawan, mulai dari mengikuti upacara bendera
ataupun berziarah ke taman makam pahlawan. Beragam pula makna hari pahlawan
menurut masyarakat. Bagaimana mereka memaknai hari pahlawan pun turut
mempengaruhi bagaiman cara mereka dalam mengenang hari pahlawan.
Pahlawan
di era modern ini sebenarnya lebih tepat jika didefinisikan sebagai seseorang
yang melakukan hal kecil keikhlasan. Pahlawan bukanlah seseorang yang selalu
melakukan perjuangan yang besar, namun dengan hal kecil saja siapapun kita dapat menjadi pahlawan asal dalam melakukan
hal tersebut dilandasi dengan penuh keikhlasan. Intinya keikhlasan yang lahir dari dalam hati
adalah ciri dari jiwa kepahlawanan.
Lalu,
bagaimana kita sepatutnya mengenang jasa pahlawan? Mungkin sebagai pelajar
berpikir dengan belajar tekun sehingga suatu saat nanti dapat mengharumkan nama
bangsa dengan keahlian yang dimiliki. Itu memang tidak salah. Asal semua itu
dilakukan dengan kesadaran dari hati bukan karena tuntutan belaka.
Warga
negara yang baik adalah warga negara yang tidak hanya menuntut hak dari negara
tetapi juga ikut berkontribusi dalam kemajuan bangsa. Tidak masalah seberapa besar
kontribusi kita bagi negara, yang penting bersifat positif dan ikhlas. Jadi,
sebagai pelajar atau mahasiswa, sudah ikhlaskah kita menuntut ilmu supaya kelak
ilmu tersebut dapat diamalkan bagi negara? Atau masih berpikir bahwa menuntut
ilmu saat ini hanyalah rutinitas belaka?
“setiap
pejuang bisa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan
itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama
seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia
cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah “
– Pramoedya Ananta Toer
--vn--
No comments:
Post a Comment